Pilarrakyat-Madiun, Partai Rakyat Demokratik (PRD) mendesak
pemerintah agar melakukan reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
Desakan ini timbul menyusul maraknya konflik antara masyarakat dan perusahaan
yang terjadi di berbagai daerah belakangan ini.
“Karena
itu PRD menuntut pembentukan panitia nasional untuk penyelesaian konflik agraria,”
kata Firmanus Noel Fellusa,
ketua KPK PRD Madiun dalam realese yang dikirim ke redaksi Pilarrakyat,
Senin (26/12/11).
Menurutnya, sistim agraria nasional saat ini benar-benar
mengabdi kepada kolonialisme. Ironisnya, apparatus negara, dalam hal ini Polri,
justru menjadi “centeng” pemilik modal untuk menindas dan mengusir rakyat dari
tanah dan sumber-sumber penghidupannya.
Kejadian di pelabuhan Sape, Bima, adalah contoh konkret
bagaimana aparatus negara telah menjadi alat modal. Aparatus negara rela pasang
badang hanya untuk melindungi sebuah SK atau ijin usaha sebuah perusahaan: PT. Sumber
Mineral Nusantara. ”Untuk diketahui, hampir 95% saham PT. SMN dikuasai oleh
pemodal dari Australia,” jelasnya.
Padahal, tambahnya, apa yang diperjuangkan oleh rakyat
Lambu dan Sape di Bima adalah soal hidup dan soal martabat. “Tiba-tiba, hanya
dengan bermodalkan ijin dari seorang bupati korup, perusahaan asing tiba-tiba
mengklaim tanah itu sebagai daerah konsensinya,” ujar Firmanus.
Melihat kasus agraria terjadi belakangan ini,
terang Firmanus, membuktikan tata-kelola
agraria di Indonesia maĆz bercorak kolonialisme, maka cara penyelesaian konflik
agraria berwatak kolonialis, yaitu mengutamakan kepentingan pemodal.
“PRD tidak percata lagi dengan proses penyelesaian
agraria di tangan pemerintah, Badan Pertanahan maupun menteri terkait. Dan
dalam panitia nasional diusulkan PRD harus mengutamakan dialog dan negoisasi,
untuk TNI / Polri tidak boleh terlibat menangani konflik agraria,” tegasnya. (wahyu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar