Laman

Selasa, 18 Oktober 2011

Sekda Baru Bukti Kelemahan Diplomasi Legislatif dan Eksekutif


Beberapa saat yang lalu kita melihat suatu proses transisi yang cukup istimewa di kabupaten Madiun, yaitu  kepindahan Sekda Kabupaten Madiun menjadi Sekda Trenggalek digantikan Bakorwil Bojonegoro. Sekilas kita melihat hal tersebut adalah suatu hal biasa, tapi jika kita mencermati lebih dalam maka akan terlihat hal tidak biasa di sini. Karena itu, melalui tulisan ini marilah kita bersama mencoba mencermati hal-hal yang tidak biasa dalam proses perpindahan Sekda ini untuk menjadi pelajaran agar ke depan bisa lebih baik.

Issue

Sebagaimana kita ketahui bersama, perpindahan Sekda tidak lepas dari rumor-issue ketidakharmonisan Bupati dengan Sekda kabupaten Madiun. Dimana issue ketidakharmonisan itu lagi-lagi dipicu oleh issue lagi, yaitu issue pencalonan Sekda dalam Pemilukada Kabupaten Madiun tahun 2013. Sementara kita tahu, dalam Pemilukada 2008 lalu Sekda menjadi tim sukses di balik layar yang cukup berperan penting dalam pemenangan Bupati saat ini. Pertanyaannya, apakah mungkin seorang tim sukses yang teramat penting akan menjadi lawan politik dalam Pemilukada?.

Padahal hitung-hitungan di atas kertas, Bupati jelas unggul dalam segala hal dibanding Sekda. Keunggulan dalam segi politis sudah pasti dipegang Bupati, dimana selain menjabat incumbent juga menjadi seorang ketua partai yang sudah jelas juga punya punya basis massa.

Sementara Sekda hanyalah PNS yang tidak punya itu semua. Bahkan bisa dikatakan dalam kontrak kerjanya, seorang PNS harus siap ditempatkan dalam posisi apapun, kapanpun, dan dimanapun. Diibaratkan gajah melawan semut, harusnya, sang gajah dengan segala kelebihannya tidak perlu takut dengan semut. Sehingga kekhawatiran Bupati terhadap Sekda hanyalah kekhawatiran akan bayang-bayang sendiri yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Proses

Saat ini ada 5 daerah di Jawa Timur yang sedang mengalami kekosongan posisi Sekda. Kekosongan posisi ini bukannya dibiarkan kosong, tetapi pengisiannya masih dalam proses. Bahkan di beberapa daerah proses pengisian posisi Sekda ini masih menjadi polemik yang menghabiskan waktu yang tidak sebentar. Hal tersebut sangat kontras dengan keadaan yang terjadi di kabupaten Madiun, dimana proses penggantian Sekda berlangsung sangat-sangat  cepat, wuzz wuzz wuzz.

Proses penggantian Sekda di kabupaten Madiun diawali dengan dialog 'islah' yang dilakukan Bupati, Wakil Bupati, dan Sekda dengan disaksikan ketua DPRD dan unsur komisi A DPRD di kantor Gubernur, di Surabaya pada tanggal 10 Agustus 2011. Dalam pertemuan tersebut Gubernur menjelaskan kembali wewenang dan tupoksi masing-masing jabatan, baik Bupati, Wakil Bupati dan Sekda. Selanjutnya Gubernur meminta semua pihak sepakat untuk bekerja sama kembali sesuai kewenangan dan tupoksi masing-masing demi kemajuan pembangunan di daerah. Dan di akhir kesempatan Gubernur minta agar Ketua DPRD bisa menengahi pelaksanaan tersebut dengan baik.

Pertemuan tersebut kemudian ditindaklanjuti lagi dengan dengan pertemuan 'gelap' ( karena dilakukan malam hari pukul 19.00 - 23.00 wib) pada tanggal 15 September 2011 di gedung DPRD kabupaten Madiun dengan dihadiri kembali oleh mereka yang hadir pada pertemuan pertama di Surabaya ditambah unsur wakil ketua DPRD dari semua Fraksi.

Pertemuan tersebut pada intinya meminta Sekda untuk mundur dari jabatan Sekda kabupaten Madiun. Issue yang muncul ( lagi-lagi issue :-P ) tercatat hanya satu anggota Dewan berisial SBS yang masih kukuh meminta agar semua pihak tetap bekerja sama, mengingat kehadiran mereka dalam pertemuan tersebut sudah merupakan bentuk itikad baik mereka untuk mencari penyelesaian masalah yang ada.

Terakhir, pada hari Minggu, 9 Oktober 2011, di sela-sela agenda partai biru berlambang Mercy di kota Madiun, bertempat di Bakorwil Madiun, Gubernur menyampaikan bahwa solusi untuk kabupaten Madiun sudah ada yaitu Sekda kabupaten Madiun dipindah ke Trenggalek.

Missing link

Mencermati proses yang sedemikian cepat, maka akan timbul pertanyaan bagi orang yang perhatian akan masalah ini. Ada apa ini? Bukankah proses penggantian Sekda harus melalui proses pengusulan di DPRD? Terlebih pada harian Radar Jumat 14 Oktober 2011 berita “Dua Jago Pemkab Terpental”, saudara Bupati menyatakan bahwa sudah mengusulkan 3 nama ke Gubernur? Kapan itu dilakukan? Apakah DPRD juga sudah memberikan persetujuan terhadap penggantian Sekda tersebut ?  Jika sudah, mengapa banyak anggota DPRD yang lain tidak tahu? Apakah ketua DPRD sudah melangkah sendiri untuk mengambil keputusan, lupa bahwa keputusan di DPRD adalah bersifat collective collegial? Atau apakah keputusan ini memang didesain terbatas sebagian pihak sebagai bentuk konspirasi pihak-pihak tertentu tersebut? Mengapa tidak sekalian mengusulkan nama pengganti Sekda dari orang dalam kabupaten Madiun sendiri? Apa orang kabupaten Madiun tidak ada yang mampu? Apa disaat mengusulkan penggantian Sekda tidak menyertakan nominasi pengganti Sekda? Kalau itu yang memang terjadi, ibarat mengganti ban mobil, tapi ban penggantinya lupa dibawa. Sehingga terpaksa membeli ban di luar kota. Mengapa saat daerah lain kukuh calon dari intra pemda setempat, pemkab Madiun tidak bisa bersikap sama? Dan jika mengingat waktu pelantikan yang hanya berselang 1 hari, yaitu 10 Oktober 2011 bertempat di Surabaya, maka pertanyaan baru pun akan muncul lagi? Ada apa lagi ini? Dan seorang Gubernur tidak akan mengambil langkah yang urgent seperti ini jika tidak ada suatu kejadian istimewa di daerah atau dalam arti lain proses penggantian berlangsung biasa-biasa saja atau normal.  

Kelemahan diplomasi

Dengan mengirimkan surat kepada Gubernur untuk menjadi mediator pertemuan Bupati, Wakil Bupati, Sekda dan unsur DPRD yang pertama di Surabaya sudah menunjukkan kelemahan eksekutif dan legislatif dalam penyelesaian masalah daerah. Mereka tidak mampu berpikir dewasa untuk menyelesaikan masalah yang hanya disebabkan ‘issue’ tersebut. Terlebih dalam jangka waktu yang telah diminta Gubernur, sang Ketua DPRD juga tidak mampu memberikan solusi sebagaimana yang diharapkan. Padahal seharusnya DPRD sebagai salah satu bentuk fungsi pengawasan, sejak awal mampu dan bisa mengingatkan eksekutif bilamana eksekutif menyalahi aturan yang ada, termasuk juga dalam issue ‘penyerobotan’ wewenang dan tugas pokok serta fungsi salah satu pihak oleh pihak lain di eksekutif.

Hal yang juga patut dicermati adalah ketidakmampuan Eksekutif dalam posisi tawar ( bargaining position ) dengan Gubernur. Masyarakat Madiun yakin masih banyak putra daerah yang mampu dan siap mengemban amanah untuk posisi Sekda ini. Bahkan dengan adanya Sekda dari 'luar', maka hal tersebut menjadi sebuah kerugian besar bagi Eksekutif bilamana mengingat Pemilukada 2013 semakin dekat. Akan butuh proses lama bagi Eksekutif untuk bisa bersinergi baik dan 'luwes' dengan Sekda baru.

Bahkan jika mau jujur, dibandingkan dengan Sekda ‘luar’ masih mending Sekda Sukiman yang ‘diam’ saja meski kewenangannya diambil paksa, sehingga Eksekutif pun bisa 'luwes' dalam mengambil tindakan meski kadang ‘melompati’ aturan perundangan yang ada.

Sehingga tidak salah jika Gubernur pun terpaksa harus mengambil tindakan ‘blitzkrieg’ khusus untuk menyelesaikan masalah kabupaten Madiun. Dan munculnya nama Sekda dari ‘luar’ itu pun adalah jalan yang terbaik bagi semua. Akhirnya, Selamat Datang Bapak Sekda yang Baru, Selamat Bertugas. Semoga kewenangan dan tugas Bapak selaku Sekda berjalan sebagaimana mustinya.


Ki Kedung Jero
Pemerhati politik Madiun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar