Laman

Selasa, 18 Oktober 2011

Mengungkap Modus Operasi NGO Asing Di Indonesia

Posted on 6 Maret 2010 by Alwi Jindan
Penulis : Tim GFI

Mengapa demokrasi di tanah air kita jadi kisruh seperti ini? Mudah jawabnya. Karena banyak sekali lembaga-lembaga asing ikut campur.

Masih ingat revolusi orange di Ukraina? Alexander Yuchinko berhasil memenangkan pemilihan umum sebagai perdana menteri baru berkat bantuan diam-diam dari LSM-LSM asing dari Amerika Serikat dan Eropa Barat. Misalnya National Endowment for Democracy(NED), Ford Foundation dan Soros Foundation. Bisa dipastikan, banyaknya pemantau asing di Indonesia pada Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden Juli mendatang bukan sekadar wisata atau menguji kejujuran pelaksanaan pemilu di Indonesia.

Lihat saja proses Pemilu 2009 sejak sebelum dan sesudah pemilu legislatif Pemantau asing berbondong-bondong ke Indonesia.

Berdasarkan akreditasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebanyak tujuh lembaga yakni National Democratic Institute (NDI), Inter-national Foundation for Electoral System (IFES), Friedrich Naumann Stiftung fur die Freiheit (FNS), Anfrel Foundation (Asian Net-work for Free Elections Foun-dation), Australia Election Commission, The Carter Center, dan International Republican Institute (IRI).

Sekadar informasi, semua NGO asing tersebut sumber dananya berasal dari USAID. Jadi, USAID inilah sebagai Panglima Perang gerakan non-milite Amerika dan Eropa Barat dalam mengentervensi proses pemilu di Indonesia.

Selain itu, KPU juga mem-beri kesempatan kepada tujuh lembaga diplomat/kedutaan asing untuk memantau Pemilu 2009, yakni delegasi Uni Eropa, Comelec Uni (KPU Philipines), KPU Afghanistan, KPU Timor Leste, Ausaid (Kedutaan Aus-tralia), Duta Besar Brunei Darus-salam, dan Duta Besar Pakistan.

Apa sebenarnya agenda strategis NGO asing sehingga beramai-ramai ke Indonesia?

Menarik peringatan dari Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary. Menurut Anshary, pemantau asing pemilu harus diwaspadai, jangan sampai ada yang merusak negara kesatuan RI. “Kita tidak mau ada pemantau asing yang merusak negara kesatuan RI. Kita memperbolehkan mereka memantau sepanjang mengikuti ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undang-an,” kata Hafiz seusai bertemu dengan para pemantau di kantor KPU, Jakarta, Selasa (17/3).

Pernyataan Hafiz itu menyiratkan kekhawatiran adanya agenda lain dari para pemantau asing itu berada di Indonesia. Apalagi misalnya delegasi Uni Eropa hanya meminta melakukan pemantauan di Aceh.
“Dalam UU (Undang-Undang) No 10/2008 tentang Pemilu, tidak ada aturan pemantauan hanya dilakukan di satu daerah saja. Kami meminta mereka agar memantau di daerah lain juga,” kata Hafiz. Sayangnya, meskipun KPU keberatan, tapi delegasi Eropa tetap diizinkan.

Penyandang Dana

Secara resmi funding-funding internasuonal tersebut berdalih bahwa bantuan dana yang mereka alokasikan bagi LSM-LSM Indonesia adalah sebagai hibah, artinya sekadar pemberian semata tanpa mengharap imbal jasa. Namun mungkinkah pemberian yang diberikan tanpa pamrih? Padahal orang-orang bule selalu bilang “there is nothing such a free lunch. Tidak ada makan siang yang gratis.

Pemilu 2009 ini, Indonesia, menurut berbagai sumber informasi yang terhimpun oleh Global Future Institute, mendapat bantuan sebesar 37,5 juta dolar Amerika. Dana itu digunakan bagi pemilu mulai dari proses sosialiasi hingga selesai. Pendanaan itu dikoordinasikan oleh UNDP (United Nations Development Programme). Dana itu berasal dari berbagai negara donor. Antara lain Inggris, Belanda, Spanyol, Amerika Serikat, Australia.

Jelaslah sudah, bahwa Amerika bukan satu-satunya Negara asing yang melancarkan operasi non-militer di Indonesia.
Sebagian dana tersebut disalurkan ke LSM guna sosiali-sasi Pemilu 2009. Jumlahnya pun cukup fantastis, mencapai US $ 1,43 juta. Hibah itu ditujukan untuk kegiatan pendidikan dan informasi pemilih Pemilu 2009. Pemberian dana hibah kepada LSM itu sebelumnya sudah melalui proses seleksi yang ketat dari 584 proposal yang diajukan.

Di luar bantuan resmi itu, tidak menutup kemungkinan ada bantuan tidak resmi. Amien Rais menjelang Pemilu 2004 pernah mengungkapkan bahwa dirinya pernah ditawari sejumlah uang oleh kalangan di Amerika sebagai modal bagi usahanya maju men-adi calon presiden.

Berperan Merekayasa Tampilnya Presiden Baru

Selain memberi bantuan dana, pihak asing turun langsung ke lapangan untuk menjajaki siapa saja yang tepat untuk memimpin negeri ini sesuai dengan keinginan mereka. Inilah yang dipertunjukkan Duta Besar Inggris Martin Hatful. Anehnya, dia mengaku telah menyambangi sejum-ah partai politik peserta pemilu 2009. Tak ada yang tahu apa isi pembicaraan tersebut.

Amerika pun tak mau ketinggalan. Ketika berkunjung ke Amerika Serikat, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang juga menjabat Ketua Umum DPP Partai Golkar diterima oleh Joe Biden yang baru 16 hari menjabat sebagai wakil presiden AS. JK juga bertemu dengan Direktur Inteli-jen Nasional AS Dennis Blair, Senator James Webb (Partai De-mokrat), dan Christopher Bond (Partai Republik). Pertemuan seperti ini bisa membawa arti positif yang sangat besar bagi Golkar dan Ketua Umumnya. Dengan kata lain, bisa juga dibaca sebagai isyarat dukungan kepada JK.

Pengalaman Pemilu 2004 menunjukkan modus yang sama. Mendekati pelaksanaan pemilu 2004, Indonesia kedatangan tamu asing yaitu Jimmy Carter dan Collin Powell. Carter datang dengan istrinya Rosalynn serta mantan Perdana Menteri Thailand Chuan Leekpai ke Indonesia untuk memimpin para pemantau dari The Carter Center. Selain memantau Carter juga ikut mengecek kesiapan KPU dalam penyelenggaraan pemilu presiden dan juga mengenai hubung-an KPU dengan Panwaslu. Ia pun bertemu dengan para calon presiden dan wakil presiden saat itu. Sementara pada saat Pemilu 2004, Menlu AS Colin Powell bertemu dengan salah seorang capres RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Indonesia Perlu Tetap Waspada

Banyaknya campur tangan asing dengan berbagai modus itu membuat khawatir banyak pihak. Ketua Yayasan Kepada Bangsaku Amin Aryoso mengatakan, intervensi asing dalam bentuk apapun termasuk dalam bentuk uang dan pakar tidak bisa dibenarkan di dalam penyelenggaraan pe-milu.

AC Manulang, seperti dikutip Rakyat Merdeka (11/2), menya-takan, bantuan asing untuk pemilu merupakan global grand strategy Amerika Serikat. Indonesia akan dipaksa setuju dengan proses globalisasi yang diusung negara-negara donor. “Saya tidak anti bantuan asing. Tapi, bukan tidak mungkin bantuan tersebut bagian dari ‘kuda troya politik’. Artinya, di balik pekerjaan yang besar terdapat operasi intelijen,” kata Manullang.

Hal senada dikatakan Herman Ibrahim. Menurutnya pemilu di manapun termasuk Indonesia selalu ada kepen-tingan asing di baliknya. Ter-utama menyelamatkan aset dan pasarnya. Untuk itu presiden RI yang terpilih harus sesuai dengan target itu.

LSM Penikmat Lezatnya Dana Asing

Benar juga kata Halida Hatta, salah seorang pengurus teras Parta Gerindra. Demokrasi Liberal di Negara miskin, bukan saja tidak tepat tapi cukup berbahaya. Salah satunya, uang jadi segalanya. Bukan sarana tapi menjadi tujuan itu sendiri. Semua berebut berburu uang tak perduli jika martabat dan harga diri bangsa jadi hancur karenanya.

Lembaga Swadaya Masyarakat, nampaknya merupakan sisi rawan yang memungkinkan intervensi asing dengan mudah masuk ke Indonesia, dan menyetir arah kebijakan politik Indonesia, termasuk proses pemilu. Berikut siapa yang mereka anggap layak jadi presiden. Berbagai ragam LSM berlomba mendapatkan uang dari luar negeri ini. Apalagi bentuknya memang hibah. Bagi mereka, ini merupakan kesempatan emas meraum ratusan juta rupiah.

Direktur Pengembangan Budaya Politik Departemen Dalam Negeri selaku Ketua tim seleksi I Gede Suratha mengatakan tim seleksi beranggotakan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Departemen Sosial, Depdagri, Departemen Komunikasi dan Informatika, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Komisi Pernilihan Umum (KPU) dan UNDP, telah memilih 26 LSM sebagai penerima dana dari bantuan luar negeri melalui UNDP ini.

Dana hibah kabarnya sebesar US$1,428 juta. Setiap LSM mendapatkan dana sebesar Rp 50 juta sampai Rp 1,2 milyar, tergantung besar-kecilnya LSM dan akses para tokoh sentral di balik LSM tersebut kepada funding-funding internasiona. Semua dana itu dimaksudkan untukprogram sosialisasi bagi pemilih pemula, pemilih perempuan, pemilih difabel serta pemilih kaum marjinal seperti narapidana, waria, juga pekerja seks komersial (PSK). UNDP pun melarang KPU terlibat langsung dalam hal ini.

Sejumlah LSM penerima dana hibah itu di antaranya PP Lakpesdam NU, Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat Sulawesi Tengah, Pusat Pengembangan Sumber daya Wanita, Institute for Research and Community Services UGM, Pusat Studi Masyarakat Yogyakarta, dan Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat.

Meneropong Kegiatan LSM Amerika

Salah satu yang harus dicermati di Indonesia adalah National Democratic Institute (NDI). Campur tangan LSM yang secara aspiratif dekat dengan Partai Demorat Amerika ini sudah terlihat sepak-terjangnya sejak Pemilu 2004. NDI termasuk yang berada dalam orbit USAID.

LSM lain yang menarik diteropong adalah peran negatif dari United States Instutitute of Peace-USIP di Filipina. Ketika itu, USIP ikut campur dalam menyusun kesepakatan antara Pemerintah Manila dan Free Islamic Liberation Movement (MOROFront) yang ditandatangani pada Agustus 2008. Namun hasilnya, justru memicu krisis politik nasional di Filipina.

Karena itu, untuk mengantisipasi campur tangan asing agar tidak terulang kasus Filipina, Indonesia harus belajar dari Cina. Pemerintah Cina nampaknya cukup berhasil melumpuhkan funding-funding asing di Cina. Di Cina ada beberapa funding asing seperti Asia Foundation dan Euro asian foundation. Bahkan keduanya mendapat dana dari kongres Amerika.

Strategi yang ditempuh Cina adalah dengan menginventarisasi semua kontak dan hubungan NGO asing di Cina, sehinga mereka bisa dibendung dalam ikut campur tangan dalam menentukan kebijakan politik dalam negeri Cina.

Bahkan Departemen Luar Negeri Cina, juga mengontrol semua acara yang diadakan kantor perwakilan (residence representative) semua NGO asing di Cina.

Tidak ada salahnya pemerintah kita belajar dari negara lain. Untuk menghadapi campur tangan asing, apalagi melalui pendekatan non-militer, kita tida saja harus tegas, tapi juga harus cerdas dan kreatif.

Tim Global Future Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar